Kamis, 30 Mei 2013

PERANAN EKSPOR DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

Nama            : AFIATI RIZKI
Kelas            : 1EB08
Mata kuliah : Perekonomian Indonesia

ABSTRAKSI
      Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan ekspor dalam perekonomian Indonesia. Data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik, Jakarta- Indonesia. Kontribusi ekspor non migas terhadap total ekspor relative besar berkisar antara 73,53%-83,88% selama periode 1993-2008. Besarnya kontribusi ini ditunjang oleh ekspor hasil industri.
Peranan ekspor dalam perekonomian dilihat dari besarnya angka multiplier ekspor dan elastisitas ekspor. Angka multiplier ekspor untuk variabel total nilai ekspor, migas, non migas, masing-masing 47,423, 229,284, dan 52,605. Sedangkan untuk variabel nilai ekspor minyak mentah, hasil minyak dan gas alam masing-masing 566,044, 1579,168 dan 477,136. Angka multiplier ekspor untuk variabel nilai ekspor hasil pertanian, hasil industri dan hasil tambang diluar migas masing-masing 1299,844, 65,406
dan 290,930.
      Angka elastisitas ekspor variabel nilai total ekspor, migas dan non migas masing-masing 1,79, 1,86, dan 1,74. Angka elastisitas ekspor variabel nilai ekspor minyak mentah, hasil minyak dangas alam masing-masing 2,02, 1,46, dan1,75. Angka elastisitas ekspor variabel nilai ekspor hasil pertanian, hasil industry, dan hasil tambang masing-masing 2,48, 1,82, dan 0,94.
PENDAHULUAN
Ekspor merupakan salah satu variable injeksi dalam perekonomian suatu negara, artinya jika ekspor suatu negara meningkat maka perekonomian negara tersebut akan lebih meningkat lagi, karena adanya proses multipler dalam perekonomian tersebut.
Ekspor adalah barang dan jasa yang diproduksi didalam negara dan dijual diluar negeri. (Mankiw, 2004: 240). Jika suatu negara membuka perdagangan internasional dan menjadi pengekspor suatu barang, maka produsen domestic barang tersebut akan diuntungkan dan konsumen domestic barang tersebut akan dirugikan. Pembukaan perdagangan internasional akan menguntungkan negara yang bersangkutan secara keseluruhan karena keuntungan yang diperoleh melebihi kerugian nya (Mankiw, 2006 : 221).
Dalam analisis keseimbangan pendapatan nasional dalam perekonomian terbuka diandaikan Ekspor merupakan pengeluaran otonomi, yaitu ia tidak ditentukan oleh pendapatan nasional. Ekspor terutama ditentukkan oleh harga relative barang dalam negeri dipasaran luar negeri, kemampuan barang dalam negeri untuk bersaing dipasaran dunia, dan citarasa penduduk di negara-negara lain terhadap barang yang diproduksikan suatu Negara (Sukirno, 2004 : 222).
Dari studi pertumbuhan ekonomi selama periode 1968 – 1984 yang dilakukan oleh Bela Balassa (1986) terhadap sekelompok luar negara-negara yang sedang berkembang yang dibedakan antara negaranegara yang berorientasi keluar (Outward – Oriented Countries) dan Negara-negara yang berorientasi kedalam ( Inward- oriental countries) menemukan bahwa negara-negara yang menerapkan strategi
pembangunan yang berorientasi keluar memiliki kinerja pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih baik
dari pada negara-negara yang menerapkan strategi pembangunan yang berorientasi kedalam atau substitusi impor
Berdasarkan studi dilakukan Hollis Chemery terhadap 20 negara yang sedang berkembang menemukan bahwa total input productivity total meningkat diatas 3 persen pertahun di negara-negara yang menerapkan Outward oriented atau export- led strategies, sedangkan negara-negara yang menerapkan inward – oriented pertumbuhannya hanya 1 persen (Nanga, 2005 : 302).
Perumusan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut :
1.    Berapa besar luar peranan total ekspor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia
2.    Berapa besar peranan ekspor migas terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia
3.    Berapa besar peranan ekspor non migas terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia
Tujuan Penelitian ini ingin mengetahui peranan ekspor terhadap perekonomian (PDB) di Indonesia
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah telaah pustaka yang ditunjang dengan analisis deskriptif kuantitatif terhadap data-data sekunder. Data sekunder yang digunakan adalah data perkembangan ekspor dan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang bersumber dari Badan Pusat Statistik Jakarta.
Untuk mengetahui peranan ekspor tersebut digunakan persamaan Regresi Linear sederhana.
Y = a + b xi
Y = Produk Domestik Bruto (PDB) (miliar rupiah)
Xi = Nilai ekspor → I =1,2,3.
X1 = Nilai Total ekspor (juta US $)
X2 = Nilai total ekspor migas (juta US $)
X3 = Nilai total ekspor non migas (juta US $)
a = Konstanta
b = Koefisien Regresi (multiplier ekspor)
Dari persamaan regresi tersebut dihitung multiplier ekspor yang diperoleh dari angka koefesien regresi tersebut. Karena multiplier ekspor adalah angka yang menunjukkan berapa besar perubahan PDB akibat adanya perubahan nilai ekspor. Multiplier ekspor adalah perbandingan nilai pertambahan PDB dengan nilai pertambahan ekspor (Δ PDB / Δ ekspor atau dy) dx Dari persamaan regresi tersebut dihitung multiplier ekspor yang diperoleh dari angka koefesien regresi tersebut. Karena multiplier ekspor adalah angka yang menunjukkan berapa besar perubahan PDB akibat adanya perubahan nilai ekspor. Multiplier ekspor adalah perbandingan nilai pertambahan PDB dengan nilai pertambahan ekspor.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Peranan ekspor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia dapat dilihat sebagai berikut :
1.    Peranan total ekspor terhadap PDB
2.    Peranan total ekspor migas terhadap PDB
3.    Peranan total ekspor non migas terhadap PDB
Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia selama periode 1993 – 2008 dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini :
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 1993 – 2008 (miliar rupiah).
Data PDB tahun 1993-2001 berdasarkan harga konstan tahun 1993 dan data PDB tahun 2002-2008
berdasarkan harga konstan 2000. Rata-rata laju pertumbuhan PDB dengan Migas selama periode 2000 
2008 adalah 6,43% per tahun. Rata-rata laju pertumbuhan PDB tanpa migas selama periode 2000-2008\
adalah 7,57 % per tahun.
Perkembangan nilai ekspor migas, non migas dan total ekspor dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini :
Dari tabel 2 tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar nilai total ekspor berasal dari ekspor non
migas yaitu berkisar antara 73,53%-83,88% selama periode 1993-2008. Sedangkan nilai ekspor migas
berkisar antara 16,12%-26,47% dari total ekspor.
 Perkembangan ekspor migas menurut kelompok produk yang dihasilkan yaitu : minyak mentah, hasil
minyak dan gas alam selama periode 1993 – 2008 dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini :
Tabel Perkembangan ekspor migas menurut kelompok produk yang dihasilkan tahun
1993 – 2008 (juta US $).
Dari tabel 3 tersebut dapat diketahui kontribusi nilai ekspor minyak mentah terhadap total ekspor migas pada tahun 1993 sebesar 4.778,4 juta US $ (49.03%) dan pada tahun 2008 sebesar 12.418,7 juta US $ (42,64%). Kontribusi nilai ekspor hasil minyak terhadap total ekspor migas pada tahun 1993 sebesar 914,3 juta US $ (9,38%) dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 3.547,0 juta US $ (12,18%). Kontribusi nilai ekspor gas alam terhadap total migas sebesar 4.052,7 juta US $ (41,58%) dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 13.160.5 Juta US $ (45,18%). Perkembangan niali ekspor non migas menurut kelompok produk yang dihasilkan yaitu hasil pertanian, hasil industry, hasil tambang dan produk lainnya tambah pasir alam dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini :
Dari tabel 4 tersebut dapat diketahui kontribusi nilai ekspor hasil pertanian terhadap total nilai ekspor non migas pada tahun 1993 sebesar 2644,2 juta US $ (9,64%) dan pada tahun 2008 sebesar 4584,6 juta US $ (4,25%). Kontribusi nilai ekspor hasil industri terhadap total nilai ekspor non migas pada tahun 1993 sebesar 23292,0 juta US $ (84,93%) dan pada tahun 2008 sebesar 88393,5 US $ (81,93%). Kontribusi nilai ekspor hasil tambang total nilai ekspor non migas pada tahun 1993 sebesar 1463,9 juta US $ (5,34%) dan pada tahun 2008 sebesar 14906,1 juta US $ (13,82%). Kontribusi nilai ekspor lainnya + pasir alam terhadap total nilai ekspor non migas pada tahun 1993 sebesar 25,2 juta US $ (0,09%) dan paa tahun 2008 menjadi 10,0 juta US $ ( 0,009%).
Dengan menggunakan data PDB dengan migas dan data nilai total ekspor tahun 1993 – 2008 diperoleh persamaan regresi sebagai berikut :
Y = -1.398.000 + 47.423 X i
(16,358)
Koefisien korelasi r = 0,975
Koefisien Determinasi R2 = 0,95
Angka dalam kurung nilai t hitung
Koefisien regresi bernilai 47,423 berarti setiap kenaikan nilai ekspor satu juta US $, maka nilai PDB akan meningkat sebesar 47,423 miliar rupiah. Angka koefisien regresi juga merupakan angka multiplier ekspor. Dari persamaan tersebut dapat diperkirakan angka elastisitas ekspor terhadap PDB.
E = dy. x = 47,423 . 6.6800 = 1,79
dx y 1770100
angka elastisitas total ekspor 1,79 berarti setiap kenaikan nilai total ekspor 1%, maka PDB akan naiksebesar 1,79%.
Tabel 5 : Angka multiplier ekspor dan elastisitas ekspor di Indonesia menurut komiditi ekspor
KESIMPULAN
1.    Perkembangan nilai ekspor baik migas maupun non migas di Indonesia selama periode 1993-1997 terus meningkat dan pada tahun 1998,1999 dan 2001 menurun, tetapi pada tahun 2002-2008 terus meningkat. Nilai ekspor terbesar berasal dari ekspor non migas.
2.    kontribusi ekspor minyak mentah, hasil minyak dan gas alam terhadap nilai ekspor migas pada tahun 1993- masing-masing 49,03%, 9,38%, 41,58%, dan pada tahun 2008 masing-masing 42,64%, 12,18%, dan 45,18%.
3.    Kontribusi nilai ekspor hasil pertanian, hasil industry dan hasil tambang diluar migas terhadap ekspor pada non migas tahun 1993 masing-masing 9,64%, 84,93%, 5,34%, dan pada tahun 2008 masing-masing 4,25%, 81,93% dan 13,82%.
4.    Peranan ekspor yang dilihat dari angka multiplier dan angka elastisitas ekspor terhadap PDB menunjukkan angka multiplier ekspor relative cukup besar, demikian pula angka elastisitas ekspor lebih besar dari 1, kecuali elastisitas ekspor hasil tambang diluar migas sebesar 0,94%.









“PEMBANGUNAN EKONOMI YANG MENJAMIN KEBERLANJUTAN EKSISTENSI ALAM DAN KESEIMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP”

Jurnal Sumber Daya Alam

“PEMBANGUNAN EKONOMI YANG MENJAMIN KEBERLANJUTAN EKSISTENSI ALAM DAN KESEIMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP”



Disusun Oleh :
Kelompok 
Afiaty Rizki (20212298)
Citra Chandramita (21212626)
Kartika Ratna Sari (24212034)
Megi Nugrahawan (24212521)
Olga Delias Saputri (25212595)



KELAS 1EB08
FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI
Mata Kuliah : Perekonomian Indonesia (softskill)
Dosen : Ibu Zaidatun Ekastuti



PENDAHULUAN DAN LATAR BELAKANG
Perekonomian merupakan hal penting yang harus senantiasa dikembangkan karena menyangkut hidup orang banyak. Namun, di tengah maraknya pembangunan perekonomian sekarang ini, terjadi masalah dilematis yang cukup rumit, yaitu menyangkut pembangunan perekonomian pada satu sisi dan pelestarian alam pada sisi yang lain. Berkurangnya sumber daya alam, polusi pabrik dan alih fungsi lahan hijau menjadi lahan perekonomian, merupakan contoh akibat dari pembangunan ekonomi yang tidak selaras dengan pelestarian alam. Pembangunan ekonomi berwawasan lingkungan adalah pembangunan berkelanjutan dibidang ekonomi yang tidak hanya berorientasi hasil untuk saat ini tetapi juga berorientasi padamasa depan dengan titik fokus pada keberlangsungan pelestarian lingkungan, sebagaimana diketahui bahwa barometer keberhasilan sebuah pembangunan adalah keselarasan antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pembangunan berkesinambungan yang ditandai dengan tidak terjadinya kerusakan sosial dan kerusakan alam. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi berwawasan lingkungan harus diterapkan demi keberlanjutan kehidupan
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pembangunan ekonomi yang semata-mata ditujukan untuk memperoleh keuntungan tanpa memperhatikan keberlangsungan alam dan lingkungan akan membawa dampak negatif tidak hanya bagi alam tetapi juga bagi masyarakat. Salah satu dampaknegatif yang ditimbulkan adalah berkurangnya sumberdaya alam, pencemaran udara akibat polusiindustri dan pembangunan infrastruktur yang identik dengan perusakan alam. Namun, hal tersebut dapat dicegah dengan menerapkan program pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan.
“KETERKAITAN PDRB PERKAPITA DARI SEKTOR INDUSTRI, TRANSPORTASI, PERTANIAN DAN KEHUTANAN TERHADAP KUALITAS LINGKUNGAN DIUKUR DARI EMISI CO₂ DI JAWA TENGAH”
Katrin Retno Gupito
Johanna M. Kodoatie1
(Mahasiswa IESP Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro)
Pembangunan ekonomi berjalan hampir beriringan dengan menurunnya daya tahan dan fungsi lingkungan hidup, pembangunan yang terlalu berorientasi dalam mengejar pertumbuhan seringkali mengabaikan aspek pengelolaan lingkungan. Pembangunan yang bertujuan mensejahterakan masyarakat pada akhirnya justru menjadi perusak sistem penunjang kehidupan dalam hal ini lingkungan hidup. Pembangunan harus tetap berjalan dengan tidak melupakan pengelolaan lingkungan hidup, secara umum pembangunan yang berkelanjutan bertumpu pada ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial budaya. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup, tetapi dibutuhkan pembangunan yang berwawasan atau ramah lingkungan hidup (Todaro, 2009).
Pembangunan ekonomi yang ada telah banyak mencemarkan alam sekitar, serta mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Masalah lingkungan hidup sebenarnya sudah ada sejak dahulu, dan bukanlah masalah yang hanya dimiliki atau dihadapi oleh kabupaten/kota maju ataupun yang miskin, tapi masalah lingkungan hidup merupakan masalah bagi seluruh daerah. Penurunan kualitas lingkungan dapat terjadi akibat emisi yang berasal dari industri, transportasi, pertanian dan kehutanan. Sebagian besar daerah yang sedang berkembang mulai beralih dari yang berfokus pada sektor pertanian menjadi sektor industi, tentunya yang bertujuan untuk meningkatkan PDRB dari sektor industri terhadap PDRB perkapita (Ananta,1990). Gas rumah kaca berasal dari beberapa sumber dilihat dari beberapa sektor, yaitu :
  • Sektor Industri : kegiatan pabrik pabrik industri, cerobong asap rumah produksi, limbah hasil pengolahan. 
  • Sektor transportasi: pengeluaran gas pembakaran alat bantu
  • Sektor kehutanan : kegiatan pengrusakan/ pembakaran hutan, penebangan hutan, perubahan kawasan hutan menjadi bukanhutan, menyebabkan lepasnya sejumlah emisi GRK yang sebelumnya disimpan di dalam pohon.
  • Sektor pertanian: Dari sektor pertanian, emisi GRK terutama metana dihasilkan dari sawah yang tergenang, pemanfaatan pupuk, pembakaran padang sabana dan pembusukan sisa-sisa pertanian.
          Sektor kehutanan mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap emisi CO₂ di Indonesia. Emisi tersebut dari sektor kehutanan terkait dengan proses deforestasi (landuse, land use change, and forestry) yang disertai dengan kebakaran hutan. Bank Dunia (2009) mengestimasi alih fungsi lahan (land use change) dan deforestasi di Indonesia sekitar 2 juta hektar per tahun. Secara lebih detail, Forest Watch Indonesia (FWI) dan Global Forest Watch (GFW) mencatat laju perubahan kehutanan besar besaran di Indonesia sekitar 1 juta hektar per tahun sepanjang tahunnya. 
          Menurut Badan Lingkungan Hidup Sektor kehutanan menjadi salah satu topik yang menarik untuk diperbincangkan dalam konteks perekonomian Internasional. Pasalnya sektor ini memiliki beberapa alasan, antara lain:
  • Permintaan terhadap produk-produk kehutanan selalu meningkat. Meskipun demikian,perdagangan atas produk kehutanan tidak banyak yang diperdagangkan dalam pasarglobal dan hanya terfokus pada konteks regional sehingga diperlukan perluasan pasar.
  • Produksi kehutanan yang berasal dari hutan tropis hanya memiliki porsi kecil dalam pasar global.
      Dengan meningginya nilai jual pada sektor kehutanan ini tentu semakin banyaknya perburuan serta penebangan. Ini mengakibatkan menurunnya fungsi pohon sebagai penghasil oksigen serta tidak adanya penyaringan akan gas karbon yang dihasilkan dari bumi. Belum lagi jika terjadi kebakaran hutan yang tidak hanya menimbulkan polusi tetapi juga mengakibatkan pengurangan yang serius terhadap jumlah sektor kehutanan ini.
“Hak-hak Masyarakat Adat dan Masalah serta Kelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia”
Sandra Moniaga 
Dalam kaitannya dengan permasalahan lingkungan hidup, sebagian kelompok memposisikan mereka sebagai kelompok yang diidealkan dalam berhubungan dengan alam dengan menekankan pada realita akan adanya hubungan spiritualitas dari masyarakat-masyarakat adat dengan alam. Sedangkan kelompok lain, termasuk pemerintah orde baru, mereka dianggap sebagai penghambat utama dari perkembangan “kemajuan” khususnya dari segi ekonomi.
Di Indonesia, kita seharusnya merasa beruntung dengan adanya masyarakat-masyarakat adat yang barangkali berjumlah lebih dari seribu kelompok. Keberadaan mereka merupakan suatu kekayaan bangsa karena artinya ada lebih dari seribu ragam ilmu pengetahuan yang telah mereka kembangkan. Ada lebih dari seribu bahasa yang telah dimanfaatkan dan dapat membantu pengembangan khasanah bahasa Indonesia dan masih banyak lagi hal lain yang
Dimensi lain dari hubungan masyarakat adat dan lingkungan adalah adanya kenyataan dimana sebagian masyarakat adat juga ikut bekerja bersama pihak-pihak yang mengembangkan kegiatan yang merusak lingkungan. Dalam hal ini ada individu-individu yang terlibat dalam kegiatan pembabatan hutan dan penambangan skala besar baik sebagai karyawan maupun sebagai perorangan danatau kelompok masyarakat yang tidak memiliki alternatif sumber pendapatan lain.Dalam konteks ini, sejauh kegiatan tersebut bukan merupakan keputusan kolektif dari masyarakat adat yang bersangkutan maka haruslah ditempatkan sebagai kegiatan dan tanggung jawab individual dari pelakunya. Sedangkan apabila kegiatan tersebut memang diputuskan sesuai adat mereka, maka haruslah diterima sebagai keputusan kelompok yang bersangkutan dan bukan merupakan tanggung jawab dari seluruh masyarakat adat.
Betul sudah ada kemajuan dalam hal kebebasan berekspresi, berkumpul dan berorganisasi dirasakan banyak pihak. Namun belum ada perubahan mendasar dari politik ekonomi pengelolaan sumber daya alam di negeri ini. Istilahnya, masih business as ussual. Belum terasa adanya angin reformasi di sector kehutanan, pertambangan, mineral dan energi apalagi di kelautan dan perikanan yang baru ‘digarap’. Padahal amandemen UUD 1945 kedua dan ketiga mulai mengakui hak-hak masyarakat adat (yang terkadang disebut sebagai masyarakat hukum adat, di pasal lain sebagai masyarakat tradisional). Serta Sidang Tahunan MPR bulan Nopember lalu telah menetapkan Tap. No. IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang antara lain dalam pasal 4 menetapkan prinsip: “melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat” dan “mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam”. Memperbaharui kelembagaan dan program yang nyata dan dapat menjawab permasalahan kemiskinan, konflik, ketimpangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi rakyat serta kerusakan ekosistem. (TumbuSaraswati, 2001)
Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat, termasuk masyarakat adat, seharusnya dijadikan paradigma acuan dalam menerjemahkan penghormatan hak-hak asasi masyarakat adat dan pelestarian lingkungan sebagai jawaban atas permasalahan selama ini terjadi. Ibarat ratusan perpustakaan yang sedang terbakar, demikian kondisi masyarakat adat kita dengan kekayaan pengetahuan mereka dalam mengelola serta hidup dengan lingkungan secara bersahabat. Selagi belum terlambat, mari segera kita selamatkan. Tanpa ada perubahan paradigmatis dan pembenahan atas berbagai peraturan perundangan, kelembagaan dan program yang terkait maka amandemen UUD 1945 dan pengesahan Tap IX/MPR-RI/2001 hanyalah tirai asap lain atas impunity, pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan yang sistematik.
“ Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan”
   Prof. Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri
   (Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dun Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB)
      Orasi ilmiah yang diberi judul "Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan" ini menggagas paradigma pembangunan bangsa berbasis kelautan yaitu paradigma pembangunan yang memberi arahan dalarn pendayagunaan sumberdaya kelautan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi (kemakmuran), pemerataan kesejahteraan (keadilan sosial), dari terpeliharanya daya dukung ekosistem pesisir dan laut secara seimbang. Rumusan paradigma pembangunan disusun berdasarkan pada potensi, peluang, permasalahan, kendala dan kondisi pembangunan kelautan yang ada, juga mempertimbangkan pengaruh lingkungan strategis terhadap pembangunan nasional seperti otonomi daerah dan globalisasi.
         Adalah fakta fisik yang tak terbantahkan bahwa wilayah lndonesia berupa laut, ditaburi dengan 17.500 lebih pulau, yang dirangkai oleh garis pantai sepanjang 81.000 km yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Bentangan jarak dari wilayah darat di ujung barat (Sabang) ke ujung timur (Merauke) sebanding dengan dari London sarnpai ke Baghdad (timur). Sedangkan rentang wilayah darat dari ujung utara (Pulau Miangas, Kabupaten Sangihe Talaud) sampai ke ujung selatan (Pulau Rote) hampir sama dengan jarak antara utara di Jerman hingga ke selatan di Aljajair (Soegondo dalam Suryanegara, 2000). Lebih dari itu, laut besarnya kawasanpesisir yang mengitarinya mengandung potensi ekonomi (pembangunan) yang sangat besar dan beraneka-ragam. Oleh karenanya, masyarakat dunia mengenal Indonesia sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin,1983). Kondisi geografis ini dilengkapi dengan kenyataan bahwa letak Indonesia berada pada posisi geopolitis yang strategis yakni Lautan Pasifik dan Lautan Hindia-sebuah kawasan paling dinamis dalam masa dan percaturan politik, pertahanan dan keamanan dunia. Dengan alasan geo-ekonomi dan geo-politik tersebut seharusnya sudah cukup hebat, bila pembangunan kelautan selayaknya menjadi aset utama (mainstream) pembangunan nasional. Di samping itu banyak argumen lain yang memperkuat mengapa pembangunan berbasis kelautan seharusnya dijadikan aset utama pembangunan nasional kita baik secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. Pertama, karena sumber daya kelautan yang sangat berlimpah dan kaya maka Indonesia memiliki keunggulan kompetitif yang sangat tinggi.
       Industri yang berbasis sumberdaya kelautan memiliki keterkaitan ( backward and forward lingkage) yang sangat hat dengan industri dan aktifitas ekonomi lainnya, sehiigga mengembanggakan industri berbasis kelautan berarti juga menghidupkan dan mendorong aktifitas ekonomidi sektor lainnya. Ini termasuk usaha komunikasi, perdagangan, pengolahan,dan jasa-jasa lainnya.
Sumberdaya kelautan sebagian besar merupakan sumberdaya yang senantiasa dapat diperbarui (renewable resources) sehingga keunggulan komparatif dan kompetitif ini dapat dipertahankan dalam jangka panjang asal diikuti dengan pengelolaan yang arif.
       Dari aspek politik-dengan kondisi geopolitis sebagaimana disebutkan maka stabilitas politik dalam negeri dan luar negeri dapat tercapai bila kita memiliki jaminan keamanan dan pertahanan dalam menjaga wilayah kedaulatan perairan kita.
        Dari sisi sosial dan budaya-sebenarnya menjadi pembangunan berbasis kelautan sebagai arus utama pembangunan bangsa kembali (reinventing) aspek kehidupan yang pernah secara dominan ada dalam budaya dan tradisi kita sebagai bangsa. Sejarah mencatat bahwa dalam beberapa abad lamanya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan peradaban yang berada di wilayah Nusantara ini memiliki kekuatan ekonomi dan politiknya dengan berbasis pada sumber daya kelautan. Pada saat itu, laut telah menjadi media hubungan nasional dan internasional, serta menjadi kawasan penting secara politik, ekonomi dan militer pada tingkat dunia.
       Tawaran pembangunan berbasis kelautan dijadikan alasan utama dalam pembangunan bangsa kita rnerupakan suatu ha1 yang wajar, relevan dan suatu keniscayaan. Namun tentu ada suatu pertanyaan apa dan berbasis sumberdaya kelautan dalam kontek pembangunan nasional selama ini. Justru disinilah ironi dan kenyataan pahit yang barus kita akui bahwa selama ini atau setidaknya dalam tiga dasawarsa lebih kita melaksanakan pembangunan nasional dengan lebih terencana dan sistematis, tetapi pembangunan berbasis sumberdaya kelautan masih diabaikan. Singkatnya, sebelum era reformasi pembangunan berbasis kelautan dianggap sebagai sektor pinggiran. Dan, jika perkembangan dan kinerja sektor ekonomi berbasis kelautan ini jauh dari potensi yang dimiliki dan jauh dari harapan bangsa ini, kala itu merupakan harga yang harus dibayar karena kelalaian serta ignorance kita sendiri sebagai bangsa di masa lalu. 
PENCAPAIAN HASIL-HASIL PEMBANGUNAN KELAUTAN
Dibandingkan dengan potensi dan peranan sumberdaya kelautan yang sedemikian besarnya sebagaimana diuraikan sebelumnya, pencapaian hasil-hasil (achieuenzent) pembangunan berbasis kelautan yang selama ini dilakukan sungguh masih jauh dari optimal. Pencapaian hasil-hasil pembangunan di sektor yang berbasis sumberdaya kelautan selama ini memberikan gambaran yang beragam. Dari ketujuh sektor yang dapat digolongkan sebagai lapangan-lapangan usaha di bidang kelautan yaitu (1) perikanan, (2) pariwisata bahari, (3) peanambangan dan energi, (4) industri maritime (5) transportasi laut, (6) bangunan kelautan dan (7) jasa kelautan, nampak bahwa masing-masing sektor mencapai hasil yang berbeda. Dari ketujuh sektor tersebut, hanya pertambangan dan energi yang telah memberikan hasil dan sumbangan yang nyata terhadap perekonomian bangsa. Sementara sektor perikanan dan pariwisata walaupun secara potensial sangat besar, hasil-hasil yang dicapai mash jauh dari harapan. Demikian pula halnya dengan sektor perhubungan laut, bangunan kelautan, industri maritim dan jasa-jasa kelautan lainnya belum berkembang secara optimal, dan bahkan jauh terlinggal. Padahal justru dari sumbangan sektor perikanan dan pariwisata bahari itu sebenarnya kita akan dapat memperoleh manfaat yang lebih panjang dan berkelanjutan, mengingat bahwa sumberdaya perikanan dan pariwisata bahari mempakan sumberdaya yang bersifat renewable resources. Di samping itu sektor perikanan dan pariwisata bahari juga dapat memberikan manfaat lain yang kurang dapatdisumbangkan sector pertambangan dan energi, yaitu selain menciptakan pertumbuhan, pada saat yang sama juga dapat mendorong terciptanya pemerataan secara lebih adil.
KESIMPULAN
Perekonomian harus selalu mengalami perkembangan karna menyangkut kehidupan masyarakat. Ditengah maraknya pembangunan perekonomian di negara kita, terselip masalah yang cukup rumit, yaitu antara ketidakseimbangan pembangunan disatu sisi dan masalah peletarian alam disisi lain. Contoh akibat dari masalah ini adalah pencemaran, pengeksploitasian sumber daya alam, alih fugsi lahan hijau menjadi ladang menghasilkan uang.
Pembangunan ekonomi berwawasan ligkungan merupakan pembangunan keberlanjutan dibidang ekonomi yang berorientasi pada masa depan dan terfokus pada pelestarian dilingkungan. Hal antara keselarasan pembangunan dan lingkungan itulah yang menjadi barometer keberhasilan pembangunan.
Pembangunan ekonomi yang ada telah banyak mencemarkan alam sekitardan menurunkan kulitas lingkungan. Masalah ini menjadi tanggung jawab kita bersama dalam rangka menciptakan kemajuan pembangunan dan keasrian lingkungan.
Perindustrian di Indonesia berkembang pesat dengan semakin banyaknya pabrik yang berdiri disetiap daerah, namun mereka menghasilkan limbah yang mencemarkan lingkungan dan polusi yang menghasilkan hujan asam. Walaupun sektor Industri mendatangkan keuntungan besar, hujan asam yang timbul tersebar di udara dapat merusak tanaman dan tanah sehingga hasil yang didapat tidak bagus bahkan kurang baik jika dikonsumsi manusia.
Karna itu menurut kelompok kami alangkah baiknya jika sector industry maupun sector lainnya yang memanfaatkan Sumber Daya Alam bisa menyeimbangkan antara produksi perindustrian yang terus menerus dengan kondisi alam yang tetap bisa terjaga dan terus berkembang, tidak hanya mengambil dan memanfaatkannya saja. Selain itu juga bisa dilihat dampak negative atau positif baik dari segi jangka panjang maupun jangka pendeknya.